Pilih berkarir atau jadi ibu rumah tangga? Ini
adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini menghantui pikiran saya. Bagaimana
tidak? Sebelum memutuskan untuk berhenti bekerja, saya adalah seorang wanita
pekerja yang selalu sibuk di kantor dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore,dan hal itu
berlangsung selama kurun waktu 4 tahun. Tapi semua berakhir setelah saya
menikah. Saya memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan karena kondisi saya yang tengah hamil waktu
itu tidak memungkinkan untuk bekerja. Awalnya sempat terjadi pro kontra dengan
suami. Tapi akhirnya suami mendukung keputusan saya setelah melihat kondisi
saya yang kian hari semakin lemah, karena selama awal kehamilan, saya tidak
bisa makan dan minum sehingga memaksa saya harus benar-benar bedrest untuk
beberapa bulan.
Kini saya sudah menjadi seorang ibu dari putra
kecil saya yang baru berusia 3 bulan. Kalau di hitung-hitung, Saya sudah tidak
bekerja selama kurang lebih 1 tahun. Namun akhir-akhir ini timbul keinginan
saya untuk kembali bekerja. Walaupun ini baru pemikiran, saya sudah di hadapkan
pada sebuah dilemma, antara bekerja atau menjadi ibu rumah tangga? Bagi saya
ini adalah sebuah pilihan yang sulit. Di satu sisi saya ingin kembali bekerja
tapi di sisi lain hati saya sedih harus berpisah dengan anak, dan tak tega
meninggalkannya bersama seorang pengasuh.
Bagi ibu-ibu modern jaman sekarang, Bekerja
bukanlah untuk mengejar uang semata, melainkan sebagai eksistansi diri. Meskipun
secara financial rumah tangga semua sudah tercukupi oleh penghasilan sang
suami. Tapi dengan berkarir, wanita merasa lebih percaya diri dan bisa hidup
mandiri tanpa harus bergantung pada suami. Bagi para wanita layaknya saya, Pendapatan
pribadi yang di terima setiap bulan merupakan bentuk kebanggaan sekaligus
identitas sebagai individu yang mandiri. Namun hal ini sering berbenturan
dengan peran lain perempuan terkait dengan tugas dan kewajibannya sebai seorang
ibu bagi anak -anaknya serta sebagai seorang istri. Tak sedikit wanita yang
mengalami dilemma ketika di hadapkan pada dua pilihan penting, yakni mengabdi
sebagai istri dan ibu di dalam rumah, atau tetap bekerja demi tuntutan agar
tetap eksis sebagai seorang wanita yang mandiri.
Seperti yang tengah saya alami sekarang ini. Suami saya adalah lulusan salah satu perguruan tinggi negri di Palembang. Ia meraih gelar sarjana tekhnik dengan nilai yang cukup gemilang, kini dia bekerja di sebuah perusahaan, produsen pipa baja terbesar di Batam, serta menduduki jabatan yang penting di kantornya, meski baru 1 tahun bergabung di perusahaan tersebut. Penghasilannya yang lebih dari cukup untuk menghidupi kami sekeluarga, tidak membuat saya lantas berpikir untuk diam di rumah tanpa pekerjaan. Justru akhir-akhir ini saya sering mengutarakan kepadanya tentang keinginan saya yang ingin kembali bekerja. Sebagai seorang suami yang selalu mengutamakan kenyamanan dalam keluarga, ia tak pernah memaksa ataupun melarang saya untuk bekerja lagi. Semua keputusan ada di tangan saya. Meski demikian dia tetap menganjurkan agar untuk sementara ini saya focus dulu mengurus anak.
Seperti yang tengah saya alami sekarang ini. Suami saya adalah lulusan salah satu perguruan tinggi negri di Palembang. Ia meraih gelar sarjana tekhnik dengan nilai yang cukup gemilang, kini dia bekerja di sebuah perusahaan, produsen pipa baja terbesar di Batam, serta menduduki jabatan yang penting di kantornya, meski baru 1 tahun bergabung di perusahaan tersebut. Penghasilannya yang lebih dari cukup untuk menghidupi kami sekeluarga, tidak membuat saya lantas berpikir untuk diam di rumah tanpa pekerjaan. Justru akhir-akhir ini saya sering mengutarakan kepadanya tentang keinginan saya yang ingin kembali bekerja. Sebagai seorang suami yang selalu mengutamakan kenyamanan dalam keluarga, ia tak pernah memaksa ataupun melarang saya untuk bekerja lagi. Semua keputusan ada di tangan saya. Meski demikian dia tetap menganjurkan agar untuk sementara ini saya focus dulu mengurus anak.
Tapi kalau boleh saya jujur, saya merasa berat
jika harus di hadapkan pada pertanyaan “ sekarang bekerja di mana” saya merasa
minder jika harus menjawab bahwa saya hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Apalagi melihat kenyataan bahwa banyak teman-teman saya yang sukses berkarir
sukses pula dalam berumahtangga. Hmm..hebat rasanya ketika mendengar mereka
khususnya teman-teman wanita saya, begitu lulus kuliah kemudian bekerja di
perusahaan bonafid dengan mendapat penghasilan sendiri tiap bulannya. Tegambar kesuksesan
yang telah mereka raih. Membuat saya semakin rindu dengan pekerjaan saya dulu.
Rindu dengan suasana kantor, document-document yang berserakan di meja saya,
suara jari-jari menyentuh keyboard computer, suara mesin fotokopi dan fax,
suara telp berdering sahut-menyahut. Tapi bayangan itu sirna begitu saya
mengingat anak semata wayang saya. Jika saya kembali bekerja, apakah ini adil
bagi anak saya? Bagaimanapun anak saya punya hak atas diri saya. Anak memiliki
hak untuk di cintai, diakui, dan diberi perhatian. Sama seperti orangtua yang
juga memiliki hak atas anak-anaknya. Intinya untuk saat ini saya memutuskan
untuk focus dulu terhadap tumbuh kembang anak saya. Dan keinginan saya untuk
bekerja mudah-mudahan bisa terwujud di kemudian hari tanpa harus mengabaikan
kepentingan anak saya. Dan tentu saja atas izin dari sang suami.